Proses pembebasan lahan

Proses pembebasan lahan untuk lokasi pembangunan bandara bertaraf internasional di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, terindikasi tidak sesuai prosedur. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat (hearing) antara Komisi I DPRD Tana Toraja dan tim sembilan pembebasan lahan pembangunan bandara di Gedung DPRD Tana Toraja di Makale, kemarin. Anggota Komisi I DPRD Tana Toraja Titus Feri Pananangan mengatakan, dari hasil dengar pendapat diketahui ada beberapa prosedur pembebasan lahan lokasi pembangunan bandara tidak dilaksanakan tim sembilan.

Salah satunya, tim sembilan tidak mengumumkan hasil pendataan penetapan nama- nama pemilik lahan yang menerima ganti rugi. “Sebelum dilakukan pembayaran ganti rugi, nama-nama yang berhak menerima ganti rugi lahan seharusnya diumumkan lebih dulu. Namun, ini tidak dilakukan tim sembilan. Nama yang menerima ganti rugi baru ketahuan setelah dilakukan pembayaran,” ungkapnya.

Akibatnya, terjadi saling klaim kepemilikan lahan oleh masyarakat yang merasa berhak menerima ganti rugi lahan. Selain itu, dalam penentuan lahan masyarakat yang masuk proyek pembebasan lokasi bandara, tidak didukung peta manual yang ditandatangani Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tana Toraja. Padahal, peta tersebut merupakan salah satu dokumen untuk menentukan pemilik lahan yang berhak menerima ganti rugi.

Muncul kekhawatiran peta lahan yang akan dibebaskan tanpa ditandatangani Kepala BPN Tana Toraja dapat diubah untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. “Peta yang dipegang tim sembilan untuk menentukan batas-batas lahan masyarakat yang menerima gantirugibelum ditandatangani Kepala BPN. Ini bisa jadi celah proses pembayaran ganti rugi bermasalah dengan hukum,”katanya.

Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Semuel Eban K Mundi yang memimpin dengar pendapat meminta persoalan proses pembebasan lahan lokasi pembangunan bandara harus segera diselesaikan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dikhawatirkan menggugat ke pengadilan dan ada putusan sela dari majelis hakim.

Bila putusan berisi menghentikan sementara proses pembebasan lahan sampai ada putusan hukum tetap, bisa menghambat pembangunan bandara. “Jangan sampai muncul persoalan hukum yang bisa menghambat pembangunan bandara yang merupakan megaproyek pertama di Toraja.Sangat disayangkan jika bandara tidak jadi dibangun di Toraja,” ujarnya.

Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan BPN Tana Toraja Dasyumin S mewakili Kepala BPN Tana Toraja,mengakui peta lahan masyarakat yang terkena pembebasan untuk lokasi pembangunan bandara sudah ada, tapi hingga kemarin belum ditandatangani Kepala BPN Tana Toraja.Pasalnya, pihaknya masih menunggu peralatan untuk mencetak peta dengan skala 1:1.000.

Ketua Panitia Tim Sembilan yang juga Sekretaris Kabupaten Tana Toraja, Enos Karoma menyatakan,luas lahan masyarakat yang akan dibebaskan untuk lokasi pembangunan bandara seluas 140 hektare (ha). Lahan seluas 89 ha sudah dibayarkan dengan nilai Rp20,5 miliar, sedangkan lahan 51 ha dengan total nilai Rp14,5 miliar belum dibayarkan. Pantauan SINDO, jalannya dengar pendapat antara Komisi I dan panitia sembilan sempat diwarnai insiden kecil.

Beberapa anggota keluarga ahli waris Puang Mengkendek yang hadir mengikuti rapat dengar pendapat berteriak-teriak dalam ruang rapat saat pembahasan lokasi Pitu Lombok Pitu Tanete masuk lokasi pembangunan bandara. Bahkan, salah satu anggota keluarga sempat mengancam salah satu anggota panitia tim sembilan yang dituding telah merekayasa pihak-pihak yang menerima ganti rugi atas pembebasan tanah di lokasi Pitu Lombok Pitu Tanete

0 komentar:

Posting Komentar